Opini

Pemilu Serentak : e-voting sebagai solusi?

Pemilu Serentak : e-voting sebagai solusi? Oleh : Sri Rahayu   Pemilu 2019 yang dilaksanakan pada 17 April 2019 yang lalu dapat dikatakan berjalan dengan baik dan lancar. Fakta bahwa ditemukannya beberapa permasalahan dapat di katakan tidak berdampak siginifikan dari proses berjalannya pemilu itu sendiri. KPU dalam menjalankan tugas dan fungsinya cukup baik dalam menyelengarakan Pemilu, demikian juga dukungan dari pihak pemerintah maupun partai politik yang menjadi peserta Pemilu.   Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 menjadi dasar hukum penyelenggaraan Pemilu DPR, DPD, DPRD dan Pilpres tahun 2019 yang diselenggarakan secara serentak. UU ini merupakan gabungan dari UU Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, UU Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, dan UU Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. UU ini terdiri atas 573 pasal, penjelasan, dan 4 lampiran.   Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dan dalam menyelenggarakan pemilu, penyelenggara pemilu harus melaksanakan Pemilu berdasarkan pada asas sebagaimana dimaksud, dan penyelenggaraannya harus memenuhi prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, dan efisien.   Gelaran Pemilu serentak sesuai amar putusan MK, tentunya menjadi sebuah hal yang baru dalam  proses demokrasi di Indonesia. Berkenaan  dengan  UU  Pemilu   yang   memberikan  waktu  serba  terbatas terhadap  penyelesaian  sengketa  Pemilu,   maka  penting  untuk  dilakukan pengkajian kembali  apakah  rumusannya  telah  ideal  untuk  dijadikan  alat dalam menyelesaikan persoalan Pemilu yang dalam pembuktiannya sulit dan membutuhkan waktu yang lama.   Oleh karena itu, seharusnya legislatif harus kembali melakukan  kajian  ataupun  perbandingan  dengan  negara  lain  guna  mencari format  waktu  yang  ideal  dalam  menyelesaikan  sengketa  Pemilu.  Selain  itu, akademisi  juga  tidak  boleh  berpangku  tangan  dalam  melihat  kondisi  yang demikian.  Misalnya  akademisi  dapat  memberikan  usulan  desain  waktunya.   Selain itu, permasalahan lain yang timbul pada pemilu 2019 adalah tahapan dan kegiatan  pemilu yang dinilai sangat padat, bahkan pemilu 2019 ini meninggalkan duka mendalam kepada sebagian keluarga penyelenggara pemilu. Banyak laporan bahwa di beberapa daerah, para petugas dan penyelenggara pemilu sampai menderita sakit bahkan meninggal dalam menjalankan tugas. Kelelahan menjadi faktor utama penyebab sakit dan meninggalnya para petugas dan penyelenggara pemilu tersebut.   Dikutip dari nasional.kompas.com, Komisioner KPU Viryan Aziz memberi pernyataan bahwa gelaran pemilu serentak yang menggabungkan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden cukup dilakukan hanya sekali ini kerena melebihi kapasitas untuk mewujudkan pemilihan yang efektif dan berintegritas serta damai. Pihaknya juga menambahkan bahwa Pemilu Serentak dibagi atas 2 (dua) yaitu Pemilu Serentak nasional dan Pemilu Serentak Daerah.   Pemilu Serentak Nasional untuk memilih pejabat tingkat   nasional melalui Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilu DPR dan DPD. Sedangkan Pemilu Serentak Daerah untuk pemilih pejabat tingkat daerah Provinsi/Kabupaten/Kota melalui pilkada Gubernur dan Bupati/Walikota serta Pemilu DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.   Tercatat jumlah petugas KPPS yang meninggal per tanggal 10 Mei 2019 sampai dengan pukul 08.00 WIB sebanyak 469 petugas KPPS, 92 orang petugas pengawas dan 22 petugas pengaman, total berjumlah 583 orang. Selain itu, Evi Novida Ginting, Komisoner KPU menambahkan 4.602 orang petugas KPPS jatuh sakit.   Jika dirunut permasalahan terkait banyaknya angka korban jiwa yang dinilai fantastis ini, khususnya KPPS dapat dilihat dari sistem kerja badan adhoc ini diatur pada Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Umum.   KPPS mulai bekerja dari 5 (lima) hari dan tanggal sebelum pemungutan suara. Mulai dari mengumumkan hari, tanggal, waktu dan lokasi TPS kepada Pemilih di wilayah kerjanya. Dilanjut dengan menyampaikan formulir model C6-KPU serta menyiapkan Lokasi dan pembuatan TPS. KPPS memastikan dan bertanggung jawab agar semua calon pemilih terfasilitasi untuk mendapatkan haknya.   Ditambah lagi saat hari-H pemungutan suara dilanjut dengan penghitungan suara. Penghitungan suara di TPS dimulai setelah pemungutan suara selesai dan berakhir paling lambat pukul 12.00 waktu setempat pada 1 (satu ) hari sejak hari pemungutan suara dan dilakukan tanpa jeda sesuai pasal 51 Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan KPU Nomor 3 tahun 2019.   Pengisian formulir yang banyak dan rumit juga menambah beban kerja KPPS apalagi  tanpa adanya pembekalan yang cukup dari PPS sebagai pihak yang bertugas dan bertanggung jawab memberikan bimbingan teknis kepada seluruh anggota KPPS. Adanya aturan tentang Petugas KPPS yang tidak boeh dua periode pun menjadi salah satu faktor penyumbang bertambahnya waktu dalam setiap tahapan baik pemungutan maupun penghitungan di TPS. Sehingga petugas KPPS yang dilantik merupakan ‘orang baru’ di dunia ke-pemilu-an ini.   Pemilu serentak membagi 5 (lima) surat suara kepada setiap pemilih. Satu surat suara untuk memilih calon presiden dan wakil presiden, sedangkan empat surat suara untuk memilih anggota legislatif. Misalnya dalam pengisian formulir saat rekapitulasi. Formulir C1-DPR sebanyak sekitar lima lembar halaman yang harus ditanda tangani semua anggota KPPS dan saksi. Banyaknya halaman tergantung dari banyaknya jumlah caleg yang terdaftar dalam surat suara. Formulir ini dibuatkan salinannya minimal sebanyak empat yaitu: 2 untuk PPS (kelurahan), 1 untuk panwas, dan 1 untuk arsip. Sisanya tergantung jumlah saksi partai politik yang hadir. Bayangkan betapa banyaknya yang harus ditanda tangani oleh anggota KPPS.   Jatuhnya korban KPPS merupakan salah satu dampak dari sistem pemilu yang konvensional saat ini. Belum lagi kesalahan input data formulir C1 yang berisi perolehan suara di tingkat TPS ke Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng). Namun, KPU merilis bahwa kesalahan entry data tersebut sebenarnya sangat sedikit jumlahnya dibandingkan dengan total jumlah TPS sebanyak 813.350 TPS. Terlepas dari hal tersebut, hal ini sangat menyita perhatian publik sehingga timbul rasa ketidakpercayaan kepada KPU sebagai penyelenggara Pemilu.   Banyak gagasan untuk mencoba melaksanakan pesta demokrasi ini dengan sentuhan teknologi (e-voting). Perlunya melakukan transformasi pemilu secara digital tanpa mengurangi asas-asas demokrasi. Pemanfaatan teknologi yang dinilai lebih efisien dengan hasil yang dapat dipertanggung jawabkan, cepat dan akurat.   Elektronik Voting atau disingkat e-voting, merupakan sistem pemilihan/ pemungutan yang dilakukan secara elektronik. Menurut Sanjay & Ekta, E-voting mengacu pada sistem dimana pemilih memberikan suaranya menggunakan sistem elektronik, bukan kertas suara (atau mesin mekanik untuk mencoblos kertas suara). Setelah direkam, suara elektronik disimpan secara digital dan ditransfer dari setiap mesin pemungutan suara elektronik ke sistem penghitungan.   E-Voting adalah suatu sistem pemilihan dimana data dicatat, disimpan, dan diproses dalam bentuk informasi digital [VoteHere Inc, April 2002]. Centinkaya dan Centinkaya menambahkan bahwa e-voting refers to the use of computers or computerised voting equipment to cast ballots in an election. Jadi e-voting pada hakekatnya adalah pelaksanaan pemungutan suara yang dilakukan secara elektronik (digital) mulai dari proses pendaftaran pemilih, pelaksanaan pemilihan, penghitungan suara, dan pengiriman hasil suara.   E-voting bukanlah hal baru saat ini, karena Lembaga Internasional Pemilu dan Demokrasi (The International Institute For Democracy and Electoral Assistance atau IDEA) yang berkantor pusat di Stockholm, Swedia, menyebutkan bahwa sekitar 32 negara telah menggunakan sistem ini dalam proses pemilihannya.   Menurut IDEA dalam jurnal introducing electronic voting, secara teknis jenis-jenis sistem e-voting terbagi atas empat. Sistem pertama, direct recording electronic (DRE) voting machines, sistem ini menggunakan alat yang awalnya  muncul sebagai rupa digitalisasi dari mesin voting tuas yang digantikan dengan tombol. Seiring waktu, DRE semakin canggih hingga penghitungan mekanikal digantikan dengan data digital dan tombol digantikan dengan layar sentuh. Mesin ini dilengkapi dengan voter-verifiable paper audit (VVPAT) yang menjadi catatan penunjang bukti pengambilan suara.   Sistem kedua, OMR systems adalah sistem yang dapat mengetahui pilihan dari pemilih melalui kertas khusus tertentu (ballot). Kemudian yang ketiga electronis ballot printers (EBP), sistem ini menggunakan kertas khusus yang diberikan tanda oleh pemilihnya, kertas tersebut dihitung secara digital dengan cara dimasukkan kedalam suatu mesin scan. Terakhir internet voting systems, dimana suara dikirim ke pusat mesin penghitung melalui internet.   Berbicara tentang e-voting, kita bisa berkaca pada India. India adalah negara terbesar penduduknya kedua di dunia, dengan beragam etnis, agama dan tradisi yang sangat kompleks, perekonomian India mampu berkembang diiringi dengan meningkatnya industri yang semakin canggih. India mampu melakukan Pemilu di Tahun 2019 ini dengan jumlah 900 juta pemilih yang memenuhi syarat, satu juta TPS, lebih dari 11 juta petugas pemilu dan 2,3 juta mesin pemilu elektronik. Selain itu, sekitar 2.000 partai politik ikut dalam pemilu tahun ini.   KPU India membagi tujuh fase pemilihan selama enam minggu. Pemungutan suara di India dimulai pada 11 April dan berakhir pada 19 Mei 2019, dengan hasil resminya diumumkan pada 23 Mei 2019 beda sehari dengan pengumuman di Indonesia. Namun, pemilu di India tidak selalu sepanjang ini. Alasan utama mengapa durasi pemilu India lama adalah kebutuhan untuk menyediakan keamanan dan logistik untuk memindahkan pasukan dari satu bagian negara ke bagian lainnya selama tujuh tahap proses pemilu.   Di India, metode e-voting diimplementasikan dengan menggunakan mesin yang bernama Electonic Voting Machine (EVM). EVM itu sendiri adalah sebuah mesin yang kecil, unit komputer yang sederhana, yang merekam pilihan pemilih tanpa menggunakan kertas. EVM ditempatkan di setiap TPS di mana pemilu diselenggarakan. Pemilu 2019 ini berhasil mencapai lebih dari 67 persen angka partisipasi, terbesar sepanjang sejarah pemilu India.   Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah menerapkan e-voting pada pemilihan kepala desa di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah pada tahun 2018 yang ditinjau langsung oleh Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir. Prosedur dari sistem pemilihan terbagi atas empat yaitu, e-Verifikasi, e-Voting, e-Counting dan e-Rekapitulasi.   Menristekdikti menjelaskan terkait Daftar Pemilih Tetap (DPT) ganda dapat diperiksa melalui proses e-Verifikasi dengan menggunakan e-KTP, melalui proses e-Counting hasil suara dapat langsung muncul serta melalui proses e-Rekapitulasi yaitu dengan pembubuhan tandatangan digital, keabsahan dokumen terjamin secara resmi. Pemilihan kepala desa di Kabupaten Pemalang dengan tingkat keakuratan 100% dapat dikatakan sukses.   Keberhasilan pemilihan kepala desa di Pemalang dapat menjadi contoh bahwa e-voting dapat dijadikan solusi untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul dari sistem pemilu konvensional. Perlunya kesiapan yang matang baik dari masyarakat, penyelenggara dan pemerintah dalam mengaplikasikan e-voting sebagai sistem pemilihan tingkat nasional.   Pelaksanaan demokrasi memang tidak sederhana, karena banyaknya tahapan dan partisipasi jutaan warga. Harapannya adalah Indonesia dapat melaksanakan pesta demokrasi tanpa adanya jatuh korban dengan hasil yang dapat diterima oleh seluruh masyarakat tanpa mencurangi asas dan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan. Semoga.     Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Politik Konsentrasi Tata Kelola Pemilu Universitas Sumatera Utara (USU), Penerima Beasiswa KPU.

Perlukah sistem pemilu diubah

Perlukah sistem pemilu diubah Fachrur Razi Juned*       Pemilu 2019 telah usai dilaksanakan, penetapan hasil rekapitulasi penghitungan suara  juga telah ditetapkan oleh KPU RI. Pada Pemilu tahun 2019 ini dilakukan pemilihan umum untuk memilih Presiden dan wakil presiden, Anggota DPD,DPR-RI,DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.  Seperti Pemilu sebelumnya Pemilu 2019 juga dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka sebagaimana tertuang dalam UU no 7 tahun 2017 pasal 168 (1)  Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan  Republik Indonesia sebagai satu kesatuan daerah pemilihan. (2)  Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. (3)  Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak.   Pasca usainya pemilu 2019 dengan sukses ternyata pemilu juga meninggalkan beberapa masalah untuk diperbaiki untuk pemilu selanjutnya, permasalahan itu antara lain adalah hampir menyerupainya pemilihan anggota DPD dan anggota DPR-RI, anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota. Dengan sistem proporsional terbuka dan sistem distrik berwakil banyak maka pemilih akan dihadapkan pada memilih calon anggota masing – masing pemilihan dibandingkan memilih partai untuk pemilihan caleg.   Hal ini menimbulkan banyak sekali calon yang tercantum pada surat suara dengan tujuan yang sama yaitu mencoblos orang utuk tiap – tiap pemilihannya, sehingga pemilih juga menjadi susah dalam melakukan pencoblosan. Surat suara untuk calon anggota DPR-RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota hanya mencantumkan nama saja.   Pada masa Kampanye masyarakat disajikan foto – foto caleg , sedangkan saat hari pemilihan pemilih hanya melihat bahwa yang memiliki foto hanya calon anggota DPD saja. Hal ini menyebabkan banyaknya pemilih yang kesusahan dan lama memilih di bilik suara. Bila metode pemilihannya sama – sama berorientasi pada individu apakah sebaiknya agar membedakan cara pemilihannya maka sistem pemilu dikembalikan pada sistem proporsional tertutup? Perlukah Indonesia saat ini merubah sistem pemilunya?     Sistem Pemilu berdasarkan asal katanya yaitu Sistem adalah bentuk, komposisi, koordinasi, orde, organisasi, pola, skema, struktur, strata 2 cara, metode, modus operandi, praktik, teknik, prosedur Pemilihan umum (pemilu) adalah proses memilih orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan yang dimaksud ini bisa saja presiden, wakil rakyat, maupun kepala desa.Jika kita gabungkan, maka kita akan menemukan pengertian dari sistem pemilihan umum yakni metode atau cara dalam memilih seseorang untuk mengisi jabatan politik yang diinginkan.   menurut moh. Kusnardi dan harmaily ibrahim terdapat dua sistem pemilu, yakni sistem pemilihan mekanis dan sistem pemilihan organis. Sitem pemilihan mekanis menempatkan rakyat sebagai suatu individu yang sama. Sistem pemilihan ini digunakan oleh aliran liberalisme, sosialisme dan komunisme. Menurut sistem pemilihan mekanis, partai-partai yang mengorganisir pemilih-pemilih dan memimpin pemilih berdasarkan sistem bi party atau multi party (liberalisme sosialisme) atau uni party (komunisme). Badan perwakilan berfungsi untuk kepentingan seluruh rakyat. Sistem pemilihan mekanis dapat dilaksanakan dengan dua cara, yakni sistem distrik/mayoritas/single member constituencies dan sistem proporsional.   Sedangkan sistem pemilihan organis menempatkan rakyat sebagai sejumlah individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup berdasarkan geneologis (rumah tangga, keluarga), fungsi tertentu (ekonomi, industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendekiawan) dan lembaga-lembaga sosial (universitas). Menurut sistem pemilihan organis, partai-partai politik tidak perlu dikembangkan karena pemilihan diselenggarakan dan dipimpin oleh persekutuan hidup dalam lingkungannya sendiri. badan perwakilan berfungsi mewakili kepentingan khusus persekutuan hidup itu.   Sesuai teori demokrasi klasik pemilu adalah sebuah "Transmission of Belt" sehingga kekuasaan yg berasal dari rakyat bisa bergeser menjadi kekuasaan negara yg kemudian berubah bentuk menjadi wewenang pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan dan memimpin rakyat. Sistem Pemilihan Umum merupakan metode yang mengatur serta memungkinkan warga negara memilih/mencoblos para wakil rakyat diantara mereka sendiri. Metode berhubungan erat dengan aturan dan prosedur merubah atau mentransformasi suara ke kursi di parlemen. Mereka sendiri maksudnya adalah yang memilih ataupun yang hendak dipilih juga merupakan bagian dari sebuah entitas yang sama.   Bangsa Indonesia telah menyelenggarakan pemilihan umum sejak zaman kemerdekaan. Semua pemilihan umum itu tidak diselenggarakan dalam kondisi yang vacuum, tetapi berlangsung di dalam lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan umum tersebut. Dari pemilu yang telah diselenggarakan juga dapat diketahui adanya usaha untuk menemukan sistem pemilihan umum yang sesuai untuk diterapkan di Indonesia.   Dalam pandangan prof. Kacung marijan, berdasarkan sistem pemilu bagi negara-negara yang pernah menyelenggarakannya, jumlah sistem pemilu yaitu sistem pluralitas/mayoritas (plurality/majority system), sistem perwakilan proporsional (proportional representation), sistem campuran (mixed system), dan sistem-sistem yang lain (other system).   Sistem distrik merupakan sistem pemilu yang didasarkan atas kesatuan geografis.setiap kesatuan geografis memiliki satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat. Dinamakan sistem distrik karena wilayah negara dibagi dalam distrik-distrik pemilihan yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota badan perwakilan rakyat yang dikehendaki. Jadi, tiap distrik diwakili oleh satu orang yang memperoleh suara mayoritas.   Sistem proporsional ialah sistem dimana persentase kursi di badan perwakilan rakyat yang dibagikan kepada tiap-tiap partai politik disesuaikan dengan jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik. Dalam sistem ini, para pemilih akan memilih partai politik, bukan calon perseorangan seperti dalam sistem ditrik. Akibatnya hubungan antara pemilih dengan wakil-wakilnya di badan perwakilan rakyat tidak seerat dalam sistem distrik.   Sistem campuran (mixed system) pada dasarnya berusaha menggabungkan apa yang terbaik di dalam sistem distrik dan sistem proporsional. Di indonesia, pelaksaanaan pemilu yang telah berlangsung menggunakan sistem pemilihan mekanis proporsional. Sistem pemilu ini dinilai cocok dengan keadaan Indonesia, melihat kemajemukan masyarakat di Indonesia yang cukup besar.   Berdasarkan daftar calon, sistem proporsional dibagi menjadi 2 (Dua) Sistem Sistem Tertutup yaitu yaitu pemilih mencoblos/mencontreng nama partai politik tertentu dan kemudian partai yang menentukan nama – nama yang duduk menjadi anggota dewan. Sistem Terbuka yaitu pemilih mencoblos/mencontreng partai politik ataupun calon bersangkutan, pada sistem ini pemilih dapat langsung memilih calon legislative yang dikehendaki untuk dapat duduk menjadi anggota dewan. sistem perwakilan proporsional terbuka yang memungkinkan pemilih untuk turut serta dalam proses penentuan urutan calon partai yang akan dipilih, cocok diterapkan pada masyarakat yang majemuk.     Dari 2 (dua) sistem diatas terdapat kelebihan dan kekurangan dari masing – masing sistem yaitu Sistem proporsional tertutup Kelebihan sistem ini adalah Suara rakyat sepenuhnya diserahkan kepada proses di dalam partai politik untuk memilih orang-orang yang dinilai mempunyai kecakapan untuk duduk di eksekutif dan legislatif. memperkuat kembali nilai elektoral partai politik. Sistem proporsional tertutup juga diyakini dapat menekan praktek-praktek politik uang (money politic) dan mengikis “penumpang gelap” (orang yang memliki dana besar tapi belum diyakini mampu dalam berpolitik) Dapat menekan biaya pemilu yang sangat tinggi. Mempermudah pemilih dalam menentukan pilihannya Lebih hemat dalam penggunaan kertas berarti lebih ramah lingkungan.   Kekurangan sistem ini adalah Partai politik akan menjadi sangat powerfull dalam melakukan tindakan. Berkurangnya kedaulatan rakyat Calon yang dipilih partai politik belum tentu mewakili aspirasi rakyat Sistem proporsional terbuka   Kelebihan sistem ini adalah   Membuka peluang bagi siapa saja, termasuk kelompok minoritas ataupun kelompok gender untuk mengajukan figur yang dianggap bisa mewakili aspirasi pendukungnya didalam parlemen. Figur-figur tersebut memungkinkan untuk maju sebagai calon anggota legislatif(caleg) bila dipandang oleh partai politik bisa sebagai penarik suara (vote getter). Caleg yang bakal bertarung dalam pemilihan tidak lagi didominasi oleh elit partai namun juga anggota masyarakat yang maju sebagai caleg. partisipasi masyarakat juga akan ikut tinggi didalam suatu pemilihan. Hal ini dikarenakan pemilih bisa langsung memberikan hak suaranya kepada caleg tersebut di kertas suara, faktor kedisukaan akan mempengaruhi pemilih untuk langsung memilih caleg dibanding memilih partai politik. Penentuan untuk terpilih menjadi anggota dewan lebih transparan karena belum tentu nomor urut yang paling kecil yang terpilih. Dan juga sistem proporsional terbuka mengizinkan pemilih untuk memilih individu daripada partai. Pilihan yang diberikan oleh pemilih disebut pilihan preferensi. Ketika masyarakat memilih langsung siapa perwakilannya, akan membuat semacam kontrak politik yang lebih personal antara caleg dan masyarakat tersebut. Pasca pemilu, sang caleg terpilih dituntut lebih komunikatif terhadap aspirasi konstituennya. Demikian pula masyarakat memiliki posisi tawar yang lebih baik dengan membuka kemungkinan untuk tidak lagi memilih caleg terpilih apabila tidak merealisasikan janjinya dan menutup keran komunikasi dengan warga.   Kekurangan sistem ini Sistem proporsional terbuka membuka peluang lahirnya wakil rakyat karbitan yang masih hijau, belum teruji, dan bahkan sebagian besar di antaranya bukan kader terbaik partai. Bahkan bisa saja caleg tersebut merupakan kerabat dari wakil rakyat yang dulu terpilih, ataupun peluang dinasti politik di legislatif masih tetap terbuka. Kontestasi politik tidak lagi terjadi antar partai namun mengarah pada persaingan antar caleg. Hal ini akan memperburuk citra partai politik karena tidak mampu mengontrol dan mengawasi anggotanya Cenderung transaksional atau semakin maraknya money politics. Hal ini disebabkan banyaknya caleg yang berusaha untuk merebut suara memberikan uang ataupun bantuan –bantuan lainnya dengan harapan dapat merebut suara pemilih. Rumit dalam melaksanakan rekapitulasi.     Melihat kelebihan dan kekurangan dari masing – masing sistem proporsional terbuka dan tertutup maka perubahan sistem pemilu saat ini belum dianggap sangat mendesak, karena dengan sistem pemilu Proporsional terbuka masih dianggap dapat mewakili dan memenuhi aspirasi masyarakat dalam menentukan pilihannnya.   Miripnya pemilu pada saat hari  pelaksanaan Pemilu 2019 bukanlah pada sistem pemilu 2019 yang berdasarkan list terbuka akan tetapi pada pelaksanaan teknis pengerjaan di lapangan seperti kurangnya sosialisasi pada masyarakat tentang sistem pemilu, menambah pendidikan politik bagi masyarakat, sistem kampanye yang perlu diperbaiki.   Pemilu serentak 2019 perlulah jadi bahan pembelajaran bagi setiap stake holder dalam proses pelaksanaannya. Seperti pemilu Presiden dan Wakil presiden lebih banyak menarik perhatian bagi masyarakat dibanding pemilu legislative, bahkan pemilihan calon anggota DPD sangat kurang sosialisasinya dari calon anggota DPD itu sendiri. Perubahan sistem pemilu bukanlah satu – satunya solusi dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Kedaulatan rakyat adalah salah satu pertimbangan pelaksanaan pemilu. Menurut Kepala pusat penelitian Badan keahlian DPR-RI  DR. Indra Pahlevi, M.Si “Tidak ada satu sistem pemilu yang terbaik di dunia yang ada adalah sistem pemilu yang cocok di setiap Negara” . Sebenarnya Indonesia tidak perlu gonta ganti sistem pemilu, laksanakan satu sistem pemilu selama 5 kali pemilu lalu dilihat untung dan ruginya sehingga bisa di evaluasi untuk pemilu selanjutnya.

Populer

Belum ada data.