Opini

Dinamika Partisipasi Pemilih di Kota Medan Analisis dan Proyeksi

1. Pengantar Pesta demokrasi Pilkada Serentak tahun 2020 di 270 daerah (termasuk Kota Medan) di tengah masih mewabahnya bencana nonalam  Corona Virus Disease 19 (Covid 19) selesai  dilaksanakan. Sebelumnya , pada tahun 2019, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Legislatif juga usai digelar.  Kedua pesta perhelatan demokrasi ini dapat dilaksanakan dengan baik  dan berlangsung cukup aman dan lancar dengan tingkat partisipasi yang cukup siginifikan.  Paling tidak untuk Kota Medan Pemilu tahun 2019 menghasilkan angka partisipasi sebesar 74.20 % untuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan 73,67 % untuk Pemilihan DPRD Kota Medan. Ada peningkatan angka partisipasi yang cukup tajam dari Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta Legislatif  tahun 2014.  Demikian juga dengan Pilkada serentak tahun 2020, di mana ada peningkatan atau selisih angka partispasi yang cukup besar khusunya di Kota Medan dari tahun 2015 ke tahun 2020, yakni gab atau jarak angka partisipasi sebesar 20.42 %. Sebagaimana diketahui angka partisipasi Pilwako Medan pada tahun 2015 sebesar 25.38 % sedangkan pada tahun 2020 sebesar 45.80 %. Selisih angka kenaikan ini tercatat sebagai 5 tertinggi di Indonesia bila diperhadapkan pada angka partisipasi tahun 2015. Dua momentum pesta demokrasi di atas  berhasil dilaksanakan dengan sukses, aman dan lancar membuktikan bahwa masyarakat di negri ini, khususnya di Kota Medan  memiliki kesadaran  dan antusias yang cukup tinggi serta mendukung proses demokrasi yang berlangsung, dan menjalaninya dengan penuh kesadaran walau di tengah situasi Pandemi bencana nonalam Covid 19. Jika Pemilu 2019, dilaksanakan dengan 5 surat suara, di mana rakyat memilih sekaligus Presiden Wakil Presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Sedangkan Pemilihan pada tahun 2020 merupakan Pemilihan Kepala Daerah serentak yang berlangsung di tengah masih merebaknya bencana nonalam Covid 19, menjadikan pesta demokrasi ini  menjadi sangat  penuh tantangan; apakah pemilih akan berani datang ke TPS  sekaligus kekhawatiran jika KPU dituduh sebagai pemicu munculnya cluster baru Covid 19. Pelaksanaan Pemilihan di tengah bencana nonalam Covid 19 menjadikan tahapan pelaksanaan pesta demokrasi dirasakan sangat penuh resiko dan berharap agar proses tahapan pemilihan berlangsung lancar dan penyelenggara Pemilihan tetap diberi kesehatan dan terhindar dari bencana nonalam Covid 19. 2. Sanding dan Banding Data Melihat pada proses dan hasil pada Pemilihan dan Pemilu di Kota Medan 16 tahun terakhir (2004 – 2020) tentunya  menarik untuk menyandingkan sekaligus membandingkan tampilan data dengan pemilihan sebelumnya khususnya pada level yang sama, yakni Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan; Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut; Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; dan Pemilu Legilslatif , baik DPR RI, DPD RI, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten. Ada fakta yang menarik bahwa trend kehadiran Pemilh di Kota Medan pada setiap Pemilihan  kepala daerah, baik itu Gubernur dan Wakil Gubernur maupun Walikota dan Wakil Walikota cendrung menurun dengan catatan bahwa kehadiran Pemilih di Pilwako Medan lebih rendah di bandingkan dengan Pilgub. Sebaliknya kehadiran Pemilih dalam Pemilu (Presiden dan Wakil Presiden maupun Legislatif) relative lebih tinggi bila dibandingkan dengan Pemilihan Kepala Daerah sebagaimana tampilan matriks di bawah ini : Sumber : Data KPU Medan,  2021 Sumber : Data KPU Medan,  2021 Tampilan matriks dan infografis di atas memberikan informasi yang cukup penting untuk melihat dan menganalisis pola grafik yang ada. Terlihat bahwa pada setiap Pemilu yang bersifat nasional, trend kehadiran pemilih di TPS relatif cukup tinggi. Hal ini sebagaimana terlihat pada Pemilu Legislatif (Pileg)  tahun 2004 yang menunjukkan angka partisipasi mencapai 78.21 %  capaian angka partisipasi tertinggi yang diraih selama kurun waktu 15 tahun. Namun pada Pileg Tahun 2009 angka partisipasi menurun drastis hingga  47.44 %, selisih mencapai 30.77 %.  Pada Pileg tahun 2014 kehadiran pemilih naik sedikit mencapai angka 51.83 %. Selanjutnya pada Pileg tahun 2019 angka partisipasi pemilih meningkat tajam mencapai angka partisipasi 73,67 %, Ada selisih angka lebih rendah sebesar  4.54 % antara Pileg tahun 2004 dengan Pileg tahun 2019. Sementara, angka partisipasi untuk DPRD Propinsi tercatat sebesar 73,27 %;  untuk DPR RI sebesar 73,81 % serta DPD RI 73,95 % pada Pileg Tahun 2019. Pada Pemilu Presiden tahun 2004 kehadiran pemilih di TPS menunjukkan angka partisipasi yang variatif antara Putaran I maupun Putaran II, yakni 66.56 % dan 62.59 %. Pemilu Presiden tahun 2009, partisipasi pemilih mencapai 52.35 %, ada selisih 10,24 % lebih rendah dari Pemilu tahun 2004. Selanjutnya pada Pemilu Presiden tahun 2014, partisipasi pemilih mencapai 55,59 %, terdapat kenaikan 3,24 % dari Pemilu tahun 2009. Pada Pemilu Presiden tahun 2019 kehadiran pemilih di TPS sebanyak 74.20 %, selisih kenaikan  11,61 % dengan  Pemilu Presiden tahun 2004 putaran II. Tampilan angka partisipasi pemilih pada setiap Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden relatif tinggi. Jika pada tahun 2004 angka partisipasi pemilih pada Pemilu Legislatif yakni 78.21 % sedangkan  pada tahun 2019 angka partisipasi pemililih yang tinggi terlihat pada Pemilu Presiden yakni mencaoai 74.20 %.  Artinya selama 15 tahun terakhir (2004 – 2019)  ada pola yang menggambarkan trend  kenaikan angka partisipasi pemilih atau kehadiran pemilih ke TPS pada setiap Pemilu atau Pemilihan di Kota Medan. Kesimpulan bahwa pada saat berlangsungnya Pemilu Presiden maupun Pemilu Legislatif, pemilih di Kota Medan cendrung menunjukkan angka partisipasi yang tinggi walau tetap saja tidak sampai mencapai target secara nasional. Sepertinya pola ini akan kembali berulang pada momentum Pemilu yang sama, yakni Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden pada masa masa yang akan datang. Sebaliknya pada Pemilihan Kepala Daerah, baik Pilgub maupun Pilwako, trend angka partisipasi dan kehadiran pemilih di Kota Medan cendrung mengalami penurunan secara tajam. Dari matriks dan infografis yang ada terlihat bahwa trend angka partisipasi pemilih tidak pernah mencapai angka 60 % . Artinya bahwa masyarakat tidak begitu tertarik atau tidak peduli dengan Pemilihan kepala daerah, baik itu Gubernur maupun Walikota. Dari beberapa kali pemililihan Gubernur dan Wakil Gubernur maupun Walikota dan Wakil Walikota  angka kehadiran pemilih ke TPS cendrung mengalami penurunan. Pilwako tahun 2005, angka partisipasi mencapai angka 54.70 %. Ini merupakan angka partisipasi yang cukup tinggi selama berlangsungnya Pilwako di Kota Medan pada 15 tahun terakhir. Namun, pada Pilwako 2010 yang berlangsung dua putaran, angka partisipasi pemilih mulai menurun. Pada putaran I angka partisipasi pemilih sebesar 35.68 % dan pada putaran II sebesar 38.28 %. Pada Pilwako tahun 2015 angka partisipasi pemilih di Kota Medan  menunjukkan penurunan yang semakin tajam, yakni 25.38 %, terendah dalam sejarah Pemilihan di Indonesia sehingga  Kota Medan mendapat sorotan secara nasional terkait rendahnya partisipasi pemilih. Episode Pemilihan selanjutnya adalah Pilwako tahun 2020 yang berlangsung ditengah merebaknya bencana nonalam Pandemi Covid 19, dan Pilwako Medan 2020 sukses digelar dengan capaian angka partiisipasi pemilih sebesar 45.80 %. Sebuah capaian angka partisipasi yang diluar dugaan sama sekali. Ada selisih kenaikan sebesar 20.42 % dari Pilwako tahun 2015. Selisih kenaikan  ini termasuk 5 besar  di Indonesia berdasarkan catatan KPU RI. Meski tidak mencapai target nasional sebesar 77.5 %, namun angka partisipasi pemilih di Pilwako Medan tahun 2020 merupakan sebuah sukses luar biasa ditengah penyelenggaraan Pilkada yang berlangsung ditengah Pandemi Covid 19 masih merebak. 3. Analisis dan Kesimpulan Dinamika angka partisipasi Kota Medan pada 15 tahun terakhir menunjukkan pergerakan yang cukup menarik untuk dicermati. Paling tidak dari matrik dan infografik yang tergambar di atas,  terlihat ada pola yang cendrung berulang sehingga grafik menampilkan pola melandai di bagian tengah sebagai pertanda rendahnya grafik angka partisipasi. Sementara di bagian sisi kanan dan sisi kiri  grafik, tampilan grafik cendrung meninggi dan hampir merata. Sehingga secara umum terlihat, pergerakan grafik menampilkan pola dari tinggi ke rendah dan berhenti di titik tengah.  Pemilu tahun 2013, sebagai pusat median, dan berada ditengah kemudian secara perlahan tapi pasti, grafik mulai menunjukkan kenaikan secara baik, meski kemudian menurun secara ekstrem di pada Pemilihan Walikota tahun 2015. Namun pada  3 momentum Pemilihan berikutnya, tepatnya  pada Pilgub 2018, grafik menaik tajam . Trend ini terus menaik dan cendrung sejajar di tahun 2019. Dari tampilan infografik yang ada,  dinamika tingkat partisipasi di Kota Medan menunjukkan suatu pola yang progresif  fluktuatif.  Artinya menggambarkan tingkat partisipasi yang bergerak cukup dinamis dan progresif.  Namun tetap menampilkan pola yang ajeg dan konsisten,  di mana tingkat Partisipasi Pemilihan (Pemilihan Kepala Daerah)  selalu  lebih rendah dari tingkat  Partisipasi Pemilu (yang bersifat nasional) , dan pola ini  tampaknya cendrung berulang pada fase Pemilu dan Pemilihan  yang sama. Perlu ada upaya atau treatmen khusus untuk memacu tingkat partisipasi Pemilih di Kota Medan agar semakin membaik. Paling tidak untuk mengurangi daerah cekungan yang menggambarkan grafik partisipasi yang cendrung rendah. Semoga trend infografik  tingkat partisipasi pemilih yang ada masih bisa berubah  menuju  ke arah yang lebih baik pada Pemilu dan Pemilihan  yang akan datang.   Oleh : Edy Suhartono Komisoner KPU Medan, Kordinator Divisi SDM dan Parmas Periode 2018-2023 Artikel sudah ditayangkan di Harian Analisa, pada Sabtu, 14 Agustus 2021

Menjaga DPT Berkualitas di Pusaran Covid-19

BERBEDA dari pelaksanaan pesta demokrasi sebelumnya, pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak 2020 dilakukan dalam kondisi masih menyebarnya corona virus Disease 2019 (Covid-19). Penyelenggara tidak hanya harus mensukseskan teknis setiap tahapan, tapi juga dituntut menjaga kesehatan diri; keluarga;  pemilih dan pasangan calon yang menjadi peserta pemilihan nantinya. Pusaran Covid-19, juga membuat  pekerjaan penyelenggara semakin kompleks. Berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, ada beberapa kriteria wilayah berdasarkan risiko penyebaran corona virus Disease 2019 berdasarkan warna yaitu zona hijau ditandai untuk wilayah yang tidak terdampak virus, zona kuning (Risiko Rendah), zona orange (Risiko Sedang), dan zona Merah (Risiko Tinggi tertular virus). Namun Secara penerapan regulasi, baik di Peraturan KPU, Surat Keputusan atau Surat Edaran yang dikeluarkan KPU RI tidak ada perbedaan zona. 270 daerah yang melaksanakan pemilihan kepala daerah langsung tetap harus melaksanakan seluruh tahapan secara keseluruhan. Kota Medan, meski berada dalam zona merah penyebaran Covid-19, setelah keluarnya Peraturan Pemerintah Penggangti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2/2020 tentang  Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang dimana pada Pasal 201A ayat 2 berbunyi pemungutan suara serentak yang ditunda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada bulan Desember 2020 maka seluruh tahapan yang tertunda tetap harus kembali dilanjutkan pada 15 Juni 2020. Diawali dengan mengaktifkan kembali Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) serta melantik Petugas Pemungutan Suara (PPS) ditingkat Kelurahan, tahapan penting saat ini yang dilakukan KPU Kota Medan adalah tahapan pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih. Tahapan ini merupakan salah satu titik krusial yang sangat menentukan kelanjutan tahapan berikutnya, seperti penentuan jumlah TPS; alokasi logistik; pola sosialisasi kampanye; rekapitulasi hasil suara dan lain sebagainya. Jika hasil pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih tidak akurat dan bermasalah, dapat dipastikan tahapan pemilihan selanjutnya juga akan terganggu. Adapun 14 tahapan pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih ditingkat KPU Kabupaten/kota sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 5/2020 Tentang Perubahan ketiga atas Peraturan KPU Nomor 15/2019 Tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelengaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota tahun 2020 yaitu: 1. Penyusunan Daftar Pemilih oleh KPU Kabupaten/Kota dan penyampaian kepada PPS; 2. Pencocokan dan penelitian; 3. Penyusunan daftar pemilih hasil pemutakhiran oleh PPS; 4. Rekapitulasi daftar pemilih hasil pemutakhiran tingkat desa/kelurahan dan penyampaiannya beserta daftar pemilih hasil pemutakhiran ke PPK; 5. Rekapitulasi daftar pemilih hasil pemutakhiran tingkat kecamatan dan penyampaiannya kepada KPU Kabupaten/Kota; 6. Rekapitulasi daftar pemilih Hasil Pemutakhiran tingkat Kabupaten/Kota untuk di Tetapkan sebagai DPS; 7. Penyampaian DPS oleh KPU Kabupaten/Kota kepada PPS melalui PPK; 8. Pengumuman dan tanggapan masyarakat terhadap DPS; 9. Perbaikan DPS oleh PPS; 10. Rekapitulasi dan penyampaian DPS hasil perbaikan tingkat desa/kelurahan kepada PPK; 11. Rekapitulasi dan penyampaian DPS hasil perbaikan tingkat kecamatan kepada KPU Kabupaten/Kota; 12. Rekapitulasi DPS hasil perbaikan tingkat kabupaten/kota untuk ditetapkan sebagai DPT; 13. Penyampaian DPT kepada PPS; dan 14. Pengumuman DPT oleh PPS. Tahapan Awal jadi Kunci Ada dua tahapan awal yang sangat menentukan atau menjadi kunci akurasi dan kualitas data pemilih, yaitu Penyusunan Daftar Pemilih oleh KPU Kabupaten/Kota atau biasanya disebut dengan pemetaan pemilih kedalam Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan pemutakhiran data memilih dengan melakukan Pencocokan dan penelitian (Coklit). Dengan pemetaan TPS yang akurat di masa penyebaran corona virus Disease 2019  harapan akan mempermudah Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) dalam menjalankan tugasnya. Karena pemilih yang akan dicoklit memang berada dalam lingkungan dan alamat yang saling berdekatan serta pemilih yang satu keluarga berada dalam TPS yang sama. Sehingga PPDP tidak terlalu lama berada dilapangan untuk melakukan proses coklit. Sesuai dengan Surat Edaran (SE) KPU RI nomor 421/PL.02.1-SD/01/KPU/VI/2020  tertanggal 5 Juli 2020 terkait pemetaan TPS dijelaskan bahwa pemilih dalam satu TPS maksimal 500 orang dengan memerhatikan: a. Tidak mengabungkan pemilih dalam satu kelurahan yang berbeda dalam satu TPS; b. Tidak memisahkan pemilih dalam satu rukun tetangga atau nama lain dalam TPS yang berbeda; c. Tidak memisahkan pemilih dalam satu keluarga yang berbeda; d. Memudahkan pemilih; e. Hal-hal berkenaan dengan aspek geografis serta f. Jarak dan waktu tempuh menuju TPS dengan memperhatikan tenggang waktu pemungutan suara. Strategi KPU Medan dan Peran Masyarakat Untuk mendapatkan pemetaan yang akurat ini, ada beberapa hal yang dilakukan KPU Kota Medan. Pertama sebelum Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4) yang diturunkan KPU RI melalui KPU Provinsi pada 21 – 23 Maret 2020 diserahkan ke PPK dan PPS untuk dipetakan. Operator KPU Kota Medan terlebih dahulu melakukan pencermatan terhadap DP4 yang ada, seperti kemungkinan adanya potensi-potensi ganda dalam DP4 untuk segera dibersihkan. Kedua, KPU Kota Medan juga melakukan koordinasi yang intensif dengan Pemerintah Kota (Pemko) sejak awal, bahkan sebelum DP4 diturunkan KPU RI terkait alamat atau nama jalan yang ada di Kota Medan berbasis lingkungan. Harapannya, dengan adanya informasi ini maka PPK dan PPS yang masih minim pengetahuan terkait kewilayahan kerjanya tetap dapat melakukan pemetaan TPS secara akurat dan menempatkan pemilih tidak jauh dari TPS nya. Ketiga, agar pemilih yang ada dalam satu keluarga tidak terpisah. KPU Kota Medan juga melakukan Bimbingan Teknis (Bimtek) secara berkala kepada PPK dan PPS terutama yang membidangi data terkait pengunaan rumus-rumus dalam format spreadsheet (microsoft excel). Sehingga penyusunan pemilih yang ada dalam satu nomor kartu keluarga (KK) yang sama untuk di tempatkan dalam satu TPS dapat lebih mudah dilakukan. Mengingat data pemilih yang dipetakan jumlahnya cukup besar. Keempat, KPU Kota Medan selama pemetaan TPS juga melakukan koordinasi dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Medan terutama terkait pergerakan data penduduk mutasi keluar dan mutasi masuk yang ada di Kota Medan. Karena data kependudukan yang diserahkan Kementrian Dalam Negeri (kemendagri) ke KPU RI untuk disingkronkan dengan DPT Pemilu terakhir untuk diturunkan ke KPU yang melaksanakan pemilihan serentak dalam bentuk DP4 merupakan data penduduk semester pertama hingga juni 2019, padahal pergerakan penduduk di Kota Medan cukup cepat terjadi. Dengan melakukan beberapa hal ini, harapannya pemetaan TPS dapat lebih akurat dilakukan. Selanjutnya yang paling penting dilakukan untuk menentukan akurat dan kualitas data pemilih, yaitu proses pemutakhiran data pemilih dengan melakukan Pencocokan dan penelitian (coklit) langsung door to door oleh Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP). Karena dengan mendatangi pemilih secara langsung ini, maka KPU Kota medan akan mengetahui secara rill berapa jumlah pemilih yang memenuhi syarat untuk dimasukkan ke dalam daftar pemilih tetap (DPT). Dengan kondisi Kota Medan yang masih masuk dalam kategori zona merah terkait penyebaran corona virus Disease 2019, maka KPU Medan sedapat mungkin menghindari pertemuan yang mengumpulkan banyak orang. Padahal dalam proses Coklit ini ada sekitar 4.296 PPDP yang harus dibimtek terkait tata cara proses coklit yang harus mereka lakukan selama masa kerja 15 Juli – 13 Agustus 2020. Untuk itu, guna mengatasi minimnya pertemuan dengan PPDP karena hanya dilakukan bimtek satu kali berbasis anggaran. KPU Kota Medan juga menyiapkan beragam video tutorial tata cara tugas PPDP. dengan adanya fasilitas video ini diharapkan muncul PPDP  yang mumpuni dalam melaksanakan tugasnya. Selain itu, KPU Kota Medan juga mengintruksikan kepada PPS untuk melakukan komunikasi yang intensif lewat teknologi dengan PPDP melalui group chat.  Dengan medium teknologi ini, maka permasalahan yang dihadapi PPDP dalam proses coklit di tengah pendemi dapat segera teratasi meski tanpa komunikasi tatap muka langsung dengan jajaran PPS . Selain itu, laporan proses coklit oleh PPDP dapat dilakukan lebih cepat. Penutup Agar pelaksanaan proses coklit ini dapat berjalan maksimal, KPU Kota Medan secara berkala juga akan melakukan proses monitoring langsung terhadap kinerja PPDP. Dimana sesuai dengan PKPU Nomor 2/2017 Tentang Pemutakhiran Data dan Penyusunan Daftar Pemilih Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dinyatakan bahwa proses monitoring dilakukan dengan menggunakan sampel paling sedikit 5% dari jumlah TPS yang ada. Untuk Kota Medan dimana ada 4.296 TPS, maka KPU Kota Medan harus memonitoring paling sedikit 215 TPS  dalam satu waktu. Harapannya, dengan adanya beberapa tahapan yang dilakukan KPU Kota Medan dalam penyusunan data pemilih di tengah pendemi ini. kualitas dan akurasi data pemilih pada pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan tahun 2020 dapat tetap terjaga. Jangan lupa cek data pemilih anda di link lindungihakpilihmu.kpu.go.id dan tunggu PPDP KPU Medan di rumah Anda. Oleh : Nana Miranti – Anggota Komisi Pemilihan Umum Kota Medan, Divisi Program, Data dan Informasi Periode 2018-2023

Mencoklit di Masa Covid

Pencocokan dan penelitian atau biasa disingkat coklit adalah kegiatan yang dilakukan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) dalam proses pemutakhiran data pemilih dengan bertemu secara langsung ke masyarakat. Pekerjaannya biasa disebut dengan mencoklit. Dalam Peraturan KPU No. 19/2019 tentang Perubahan Atas Peraturan KPU No. 2/2017 tentang Pemutakhiran Data dan Penyusunan Daftar Pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah, Pasal 11 ayat 6 disebutkan kegiatan mencoklit dilakukan dengan cara; (a) mencatat pemilih yang telah memenuhi syarat, tetapi belum terdaftar dalam daftar pemilih menggunakan formulir model A.A-KWK; (b) memperbaiki data pemilih jika terdapat kesalahan; (c) mencoret pemilih yang sudah meninggal; (d) mencoret pemilih yang telah pindah domisili ke daerah lain; (e) mencoret pemilih yang telah berubah status dari status sipil menjadi status anggota TNI/Polri; (f) mencoret pemilih yang belum genap berumur 17 tahun dan belum kawin/menikah pada hari pemungutan suara; (g) mencoret data pemilih yang telah dipastikan tidak ada keberadaannya setelah melakukan konfirmasi kepada keluarga, tetangga, dan atau pengurus RT/RW atau nama lain; (h) mencoret pemilih yang sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; (i) mencatat keterangan pemilih berkebutuhan khusus pada kolom jenis disabilitas; dan (j) mencoret pemilih yang berdasarkan identitas kependudukan bukan merupakan penduduk pada daerah yang menyelenggarakan Pemilihan. Berdasarkan Surat Dinas KPU No. 487/2020 tentang Arahan Pembentukan PPDP dalam Pemilihan Serentak Tahun 2020, pada poin 5 disebutkan jumlah PPDP adalah satu orang untuk setiap TPS dengan jumlah pemilih maksimal 500 orang. Artinya satu PPDP harus mencoklit 500 pemilih dalam kurun waktu masa kerja 15 Juli – 13 Agustus 2020 (30 hari). Setidaknya jika dihitung rata-rata maksimal, sehari harus bisa mencoklit 16 pemilih dan memastikan mekanisme kerja pencatatan dan pencoretan sesuai Pasal 11 Ayat 6, Peraturan KPU No. 19/2019 berjalan dengan baik. Dalam kondisi normal, pelaksanaan kerja pencoklitan bukan sesuatu yang sederhana. Tak jarang masyarakat enggan membuka pintu untuk dicoklit oleh petugas meski beridentitas, berseragam dan mengantongi izin resmi. Hal itu saya alami sendiri ketika pada Pemilu 2019 lalu, harus memastikan satu orang pemilih yang diragukan validasi datanya. Saat KPU Kota Medan bersama petugas lainnya tiba di depan gerbang rumah bejerjak rapat, penghuni enggan keluar dan hanya menyahut dari dalam rumah bahwa dirinya tidak ingin menerima orang lain jika kepala lingkungan (kepling) tidak ada. Mau tak mau, suka atau tidak, kami pun harus menunggu sang kepling yang sedang apel rutin hingga dua jam lamanya. Setelah kepling tiba di rumah tersebut, hanya dengan sekali sahutan, gerbang berjerjak rapat itu pun langsung terbuka luas. Dengan ramah penghuni rumah mempersilahkan masuk dan menyiapkan kudapan. Setidaknya makan waktu tiga jam untuk mengkonfirmasi kebenaran satu data pemilih. Pada kesempatan lain, KPU Kota Medan diberi tugas mencari satu orang pemilih yang dianggap invalid oleh peserta Pemilu 2019 lalu. Saya yang langsung turun dari pagi hari menuju alamat yang dimaksud, baru dapat bertemu dengan pemilih bersangkutan pada sore harinya setelah melacak alamatnya dengan aplikasi yang didownload dari android. Karena ternyata alamat di KTP elektronik berbeda dengan alamat riil. Bahkan seorang kepling pun sempat kebingungan mencari warganya sendiri. Kerumitan dalam mencoklit tersebut tentu akan semakin lebih kompleks permasalahannya ketika harus dilakukan di masa pandemik Covid-19. Tuntutannya bukan sekadar akurasi data pemilih yang dicoklit harus valid dan bersih. Tetapi juga memastikan PPDP yang bertugas sehat, menerapkan protokol kesehatan penanganan Covid-19 dengan disiplin yang ketat, serta tidak memunculkan kekhawatiran di masyarakat bakal menciptakan kluster baru penularan covid-19. Untuk itu dalam Surat Edaran KPU No. 20/2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Serentak Lanjutan Tahun 2020 Dalam Kondisi Bencana Non-alam Covid-19, pada poin 10 ditegaskan dalam hal PPDP terindikasi atau positif terinfeksi Covid-19, baik yang sedang menjalani isolasi mandiri maupun menjalani perawatan di Rumah Sakit, tidak diperbolehkan melaksanakan tugasnya, dan KPU melakukan penggantian PPDP yang bersangkutan berdasarkan usulan PPS. Ini artinya, petugas yang akan turun melakukan pencoklitan wajib sehat, jika tidak sehat maka tidak dibenarkan untuk mencoklit. Sekadar sehat pun tidak cukup, dalam SE 20/2020, pada poin 3 diatur kewajiban setiap PPDP yang turun harus memakai alat pelindung diri berupa masker, sarung tangan sekali pakai, dan pelindung wajah (face shield). Dalam beriteraksi dengan pemilih diwajibkan menjaga jarak minimal satu meter, tidak berjabat tangan dan menghindari sentuhan fisik, meminta warga yang dicoklit untuk memakai masker, menggunakan alat tulis masing-masing, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir di setiap kesempatan, membawa hand sanitizier dan memastikan suhu tubuh dalam kondisi normal. Semua ketentuan baku protokol kesehatan penanganan Covid-19 tersebut sudah detil tertulis. Tinggal bagaimana setiap petugas menerapkannya secara disiplin dan diawasi dengan ketat. Ini semua demi meyakinkan masyarakat untuk tidak ragu dan khawatir saat dicoklit. Sebelum memulai tahapan mencoklit, KPU Kota Medan sudah melakukan koordinasi terus-menerus ke Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Pemko Medan. Begitu juga dengan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) telah diminta untuk berkoordinasi dengan gugus tugas kecamatan. Koordinasi tersebut penting dilakukan agar dapat memetakan kondisi masyarakat di kawasan atau lingkungan yang akan dicoklit terkait dengan ada tidaknya warga yang sedang menjalani karantina mandiri karena berstatus orang tanpa gejala (OTG) atau orang dalam pemantauan (ODP). Selain untuk kepentingan pemetaan, juga untuk memastikan bahwa setiap kegiatan tahapan pemilihan sudah sesuai dengan protokol kesehatan. Kita tidak bisa menafikan ada rasa cemas dan khawatir dalam menjalankan setiap tahapan pemilihan di masa pandemic Covid-19 yang masih terus mewabah. Namun rasa itu tidak boleh mendominasi di dalam tubuh dan pikiran, karena secara psikologis akan berdampak pada imunitas. KPU yakin dan percaya, sesulit apapun tantangan dan kondisi yang ada, akan dapat dilalui selama direncanakan dengan matang dan dilaksanakan dengan disiplin yang ketat. Serta tidak lupa untuk berdoa terus-menerus tanpa terputus agar selalu mendapat perlindungan dari Allah SWT, Tuhan YME. Salam sehat dan tetap berintegritas. Oleh : M. Rinaldi Khair – Anggota KPU Kota Medan Divisi Teknis Penyelenggaraan Artikel sudah ditayangkan di sindonews.com

Verifikasi Faktual Ditengah Ancaman Transmisi Lokal Covid-19

Sejak 12 Juni lalu, beragam peraturan, surat keputusan, surat edaran dan surat dinas dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) berjejal masuk ke grup whatsapp penyelenggara pemilu. Jika tak cepat dibaca dan disimpan ke folder khusus, maka dengan seketika informasi penting tersebut hilang ditelan pesan masuk para penghuni grup yang sigap menjawab “siap”. Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2020, tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020 menjadi landasan awal bahwa Pilkada Serentak sah dimulai kembali pada 15 Juni 2020, setelah sebelumnya ditunda pada 22 Maret karena adanya bencana non-alam corona virus disease 19 (covid-19). Diaktifkannya kembali tahapan pemilihan bukan karena situasi pandemic covid-19 sudah hilang sama sekali, tetapi karena sebuah alasan, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, untuk sementara, kita harus hidup berdampingan dengan virus yang pertama kali mewabah di Wuhan, China. Hidup berdampingan dengan covid-19 bukan berarti harus pasrah atau pesimis dengan tagar terserah. Ikhtiar atau usaha untuk pencegahan tetap harus dilakukan, diiringi dengan rasa tawakal, berserah diri kepada Allah SWT, Tuhan YME bahwa kita percaya tidak ada usaha yang sia-sia. Amanah untuk menyelenggarakan tahapan Pilkada 2020 di tengah masa pandemic covid-19 yang masih menghantui masyarakat, akan menjadi sebuah tantangan tersendiri. Selain harus memastikan kualitas dan integritas penyelenggaraan tahapan pemilihan terjaga sesuai dengan asas dan prinsip yang sudah ditetapkan, KPU juga harus memastikan seluruh penyelenggara hingga ke tingkat badan adhoc seperti Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) tetap dalam kondisi sehat, tidak terpapar covid-19 dan tidak pula menjadi pencipta kluster baru penyebaran virus. Tantangan yang tidak mudah tentu harus disikapi dengan keyakinan dan optimisme tinggi. Anggap saja penyelenggara Pilkada 2020 kali ini sedang berupaya menorehkan catatan sejarah bagaimana menyelenggarakan pesta demokrasi di tingkat lokal (provinsi, kabupaten dan kota) di tengah pandemic covid-19 yang belum ada vaksin dan obatnya. Tentu yang dilalui hari ini akan menjadi tolok ukur di masa yang akan datang dalam mempersiapkan penyelenggaraan pemilihan dalam kondisi darurat dengan tetap aman dan sehat serta tetap menjaga asas dan prinsip penyelenggaraan. KPU tentu tidak ingin harapan dan tantangan untuk sukses dalam menyelenggarakan tahapan di tengah pandemic hanya diwujudkan dengan retorika belaka. Sejak 12 Juni, setiap peraturan, keputusan, surat edaran dan surat dinas yang keluar selalu menekankan pentingnya disiplin dalam mematuhi protokol kesehatan penanganan covid-19. Petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis diatur detil dalam mematuhi protokol kesehatan penanganan covid-19 untuk setiap kegiatan tahapan. Tantangan di depan mata saat ini adalah ketika tahapan verifikasi faktual calon perseorangan yang dimulai 24 Juni hingga 12 Juli 2020. Sesuai amanah Peraturan KPU (PKPU) No 1 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga PKPU No 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Kepala Daerah, Pasal 23 ayat 1 menyebutkan PPS melakukan verifikasi faktual dengan cara mendatangi setiap tempat tinggal pendukung yang telah dinyatakan memenuhi syarat administratif untuk mencocokkan kebenaran nama, alamat pendukung, dan dukungannya kepada Bakal Pasangan Calon dengan dokumen identitas kependudukan asli. Dalam situasi normal tentu bunyi dari pasal 23 ayat 1 adalah sesuatu yang biasa. Namun di situasi pandemic atau new normal saat ini, tentu lazim jika ada rasa khawatir terutama bagi PPS yang akan bersentuhan langsung ke masyarakat. Untuk itu, KPU menyiapkan detil perangkat aturan yang wajib dipatuhi dengan disiplin yang ketat dalam Surat Edaran No 20/2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Serentak Lanjutan Tahun 2020 Dalam Kondisi Bencana Non-alam Covid-19 dan Surat Dinas No 481/2020 tentang Pelaksanaan Verifikasi Faktual dalam Pemilihan Tahun 2020. Sosialisasi terhadap peraturan tersebut pun dilakukan berulang-ulang secara virtual ke KPU Kabupaten/Kota. Bahkan sejumlah Komisioner KPU tingkat Provinsi berulang-ulang mengingatkan dan memberikan arahan setiap hari, di setiap menit dalam grup whatsapp. Karena khawatir ada informasi yang terlewatkan, mengingat semua mata saat ini sedang mengawasi gerak-gerik penyelenggara, bahkan tidak sedikit juga yang pesimis, Pilkada di tengah pandemic covid-19 akan menjadi ancaman baru terhadap transmisi lokal penyebaran covid-19. Ikhtiar untuk mencegah munculnya ancaman baru transmisi lokal penyebaran covid-19 sudah tertuang detil dalam aturan. Mulai dari bimbingan teknis verifikasi faktual calon perseorangan yang disarankan secara daring (online) untuk menghindari pertemuan fisik. Serta dapat juga melakukan bimbingan teknis tatap muka dengan kewajiban ketat mematuhi protokol kesehatan penanganan covid-19 seperti membatasi jumlah peserta yang hadir dengan menyesuaikan kapasitas ruangan, pengecekan suhu tubuh, memakai masker, posisi duduk berjarak minimal 1 meter, tidak berjabat tangan dan kontak fisik, menyediakan sarana mencuci tangan dan antiseptik berbasis alkohol serta sebagainya. Hal yang sama juga wajib dilakukan PPS saat akan melakukan verifikasi faktual ke lapangan. Memastikan petugas dan warga yang akan diverifikasi faktual menggunakan masker, menyediakan antiseptik berbasis alkohol, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, melakukan pengecekan suhu tubuh dimana jika suhu tubuh tidak sesuai protokol kesehatan, maka petugas diganti personil PPS yang lain. Lalu bagaimana jika, warga atau pendukung menolak untuk diverifikasi faktual karena alasan yang bersangkutan terpapar covid-19 atau sedang melakukan karantina, maka dapat merujuk ke Surat Edaran No 20/2020 angka 7 huruf p dan q serta diatur lebih rinci lagi di Surat Dinas No 481/2020 angka 4 huruf b, dimana verifikasi faktual dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi yakni video call. Bakal Pasangan Calon Perseorangan juga diminta untuk dapat menyerahkan surat keterangan yang membuktikan bahwa pendukungnya sedang sakit atau sedang dalam masa perawatan dari instansi berwenang. Medan sebagai kota yang telah ditetapkan daerah transmisi lokal covid-19 memang bukan salah satu daerah yang akan melakukan verifikasi faktual. Mengingat tidak ada bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat dukungan minimal. Namun bukan berarti tidak punya potensi ancaman transmisi lokal penyebaran covid-19 paska tahapan tersebut. Sebab pergerakan masyarakat dari satu kota ke kabupaten/kota lainnya di era new normal saat ini sudah tidak lagi terbendung. Untuk itu, kita berharap dan berdoa semua pihak menjalankan ikhtiar dengan disiplin yang ketat terhadap protokol kesehatan. Serta berserah diri kepada Allah SWT, Tuhan YME, yakinkan diri bahwa di setiap rencana selalu ada proses yang harus dilalui dan di balik bencana selalu ada hikmah yang tersembunyi. Selamat bertugas, tetap sehat dan berintegritas. Oleh : M. Rinaldi Khair – Anggota KPU Kota Medan Divisi Teknis Penyelenggaraan Artikel sudah ditayangkan di rmolsumut.id

Strategi Sosialisasi Pada Masyarakat Multikultur Menyongsong Pilkada Kota Medan 2020

Intro Belajar dari pesta demokrasi yang dilaksanakan di Kota Medan pada beberapa pemilihan sebelumnya di mana angka partisipasi menunjukkan trend yang semakin rendah khsusunya pada Pemilihan Kepala Daearah baik Gubernur dan Wakil Gubenur maupun Walikota dan Wakil Walikota, ,tentu menarik untuk melihat sekaligus merefleksikan kembali metode dan strategi yang digunakan sebelumnya. Hal ini penting untuk mendapat gambaran strategi yang benar benar pas untuk diterapkan pada kegiatan sosialisasi pada masa yang akan datang khususnya pada masyarakat Kota Medan yang sebentar lagi akan memasuki tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah, tepatnya 23 September 2020. Adalah penting untuk merefleksikan kembali kegiatan sosialisasi yang telah dilakukan pada kegiatan pemilihan sebelumnya. Merefleksikan kegiatan sosialisasi ini penting untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang strategi apa yang yang benar benar tepat sehingga memberi dampak positif bagi peningkatan wawasan masyarakat sekaligus ingin memastikan bahwa pemilih sadar untuk mau hadir di TPS memberikan hak suaranya pada saat hari pencoblosan. Dari hasil refleksi ini nantinya diharapkan Strategi apa yang seharusnya diterapkan pada masyarakat multikultur di Kota Medan. Sosialisasi Sosialisasi adalah bagian dari proses belajar tentang kebudayaan dalam hubungannya dengan sistem sosial. Dalam proses ini seorang individu dari masa anak anak hingga masa tuanya belajar pola pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu di sekelilingnya yang menduduki beraneka macam peranan sosial yang ada dalam kehidupapan sehari hari (Koentjaraningrat, hlm 229, 1986). Terkait dengan proses sosialisasi pada setiap kegiatan Pilkada, defenisi mengenai konsep sosialisasi di atas tampaknya masih relevan untuk dijadikan dasar rujukan. Paling tidak untuk menjelaskan relasi antara sosialisasi sebagai sebuah prosess sosial, dan belajar tentang budaya sebagai sebuah konsep (cultural learning process). Sosialisasi sebagai sebuah proses sosial ingin menggambarkan adanya proses interaksi antara indvdu dengan invdivdu lainnya dalam suatu kegiatan maupun aktftas keseharian. Proses interaksi terjadi jika ada dua orang atau lebih saling berhubungan baik dalam bentuk komunikasi lisan langsung,seperti dialog, diskusi, ceramah maupun komunikasi dalam bentuk tulisan. Dalam kegiatan sosialisasi Pemilu proses komunikasi yang berlangsung biasanya selain dilakukan dengan cara ceramah maupun dialog, juga dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai media dan alat peraga yang yang dipasang di lokasi lokasi yang gampang dibaca oleh publik dan bertujuan untuk menyampaikan pesan dan informasi agar lebih mudah dipahami oleh mayarakat penerima informasi. Secara umum biasanya proses sosialisasi lebih banyak dilakukan dengan ceramah dan dialog serta penggunaan media sebagai alat penyampai pesan yang mau disampaikan. baik tertulis maupun lisan. Yang penting adalah pesan yang disampaikan dapat dipahami oleh masyarakat dengan berbagai latar belakang yang ada. Salah satu unsur terpenting dalam proses sosialisasi adalah dengan cara melakukan komunikasi. Dalam kaitan ini, Edward T. Hall dalam bukunya yang berjudul The Silent Language (1959) menyatakan bahwa komunikasi adalah alat yang jitu untuk menembus kotak-kotak masyarakat. Lebih jauh Edward T Hall mengatakan bahwa kebudayaan adalah komunikasi dan komunikasi adalah kebudayaan. Pendapat ini mempertegas bahwa suatu komunitas manusia tidak bisa terbangun tanpa adanya komunikasi. Budaya sendiri tercipta karena komunikasi yang juga terbangun dari komunitas manusia. Strategi Sosialisasi Sumatera Utara dengan latar belakang masyarakat yang sangat beragam (majemuk) selain menghadapai masalah etnosentrismne, tapi juga tentunya sangat beragam dalam memahami dan memaknai masalah komunikasi. Perbedaan itu merupakan akibat dari perbedaan adat istiadat yang dimiliki. Keberbedaan ini dapat memicu miskomunikasi bahkan pada tingkat yang paling ekstrem perpecahan yang mengarah pada disintegrasi. Medan sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara meski masyarakat diwarnai oleh realitas multikultur, namun pada dasarnya tidak ada budaya yang dominan (dominant culture) di Kota Medan. Masing masing etnik mengalami pengelompokan dan berada dalam satu lokasi tempat tinggal yang sama maupun dalam pemukiman yang saling berbaur . Pola pemukiman etnik yang segregatif dan menyebar menjadi ciri khas dari keberagaman di kota ini. Beberapa etnik yang ada di kota ini, yakni Melayu, Batak (Toba, Mandaliling, Karo, Simalungun, Pakpak Dairi), Jawa, Minangkabau, Aceh, Cina, India/Tamil, Arab, dsb. Keberagaman ini merupakan potensi modal sosial (social capital) yang berguna unuk membangun daerah ini. Oleh karenanya dapat dipahami jika ada permasalahan silang budaya dalam masyarakat majemuk (heterogen) seringkali bersumber dari masalah komunikasi, kesenjangan tingkat pengetahuan, status sosial, geografis serta adat kebiasaan. Hal ini dapat merupakan kendala bagi tercapainya suatu konsensus yang perlu disepakati dan selanjutnya ditaati secara luas. Hal inilah yang kemudian dirasa perlu untuk mengulas tentang makna-makna yang sama dalam melihat proses sosialisasi Pemilu sebagai komunikasi antar budaya dalam masyarakat yang majemuk Jadi jelas bahwa proses sosialisasi yang disampaikam oleh pihak yang terkait adalah dimaksudkan agar masyarakat dengan latar belakang yang berbeda paham apa yang akan disampaikan baik dengan menggunakan bahasa maupun simbol serta tata cara yang telah ditetapkan..Intinya adalah agar proses sosialisasi lebih gampang dimengerti dan dipahami maka perlu disesuaikan dengan karakteristik masyarakat yang akan menjadi target sosialisasi. Dengan demikian diaharapkan dapat dijembatani perbedaan-perbedaan yang ada. Disadari bahwa keputusan warga untuk memilih dan tidak memilih dalam setiap pesta demokrasi sangat dipengaruhi oleh berbagai aspek. Pertama, aspek yang bersifat rasional (level kognitif), terkait seberapa banyak informasi yang dimiliki tentng jejak rekam calon ; Kedua bersifat emosional (level afektif), terkait seberapa dekat dan seberapa kenal dengan calon; dan Ketiga merupakan kombinasi antara keduanya yang mewujud dalam bentuk evaluasi (penilaian) terhadap calon sehingga pada akhirnya pemilih memutuskan dalam bentuk tindakan (aksi) untuk memilih atau tidak memilih. Dalam konteks sosialisasi Pemilu,yang berbasis pada masyarakat multikultur tentunya penting memperhatikan content materi yang akan disampaikan baik dalam bentuk iklan, jingle, spanduk, baliho, flyer, poster, banner, stiker, pin, maupun dalam proses dialog dan diskusi. Penggunaan bahasa yang pas serta pemahaman kearifan lokal (local wisdom) adalah penting sehingga apa yang akan disampaikan nantiya akan dipahami dengan baik. Untuk Kota Medan yang heterogen, pemanfaatan kearifan lokal penting dan dibutuhkan terlebih jika sosialisasi dilakukan tidak hanya di komunitas dengan latar belakang etnik yang berbeda, tapi juga tingkat pendidikan, pekerjaan dan segmentasi yang berbeda. Tentunya hal ini memerlukan gaya penyampaian yang mudah dipahami dan dicerna serta tidak kaku dan formal dengan penggunaan bahasa yang mudah dipahami. Biasanya cara bertutur dan gestur tubuh serta penguasaan atas materi yang disampaikan juga turut memperngaruhi audiens untuk tertarik terhadap apa yang akan disampaikan oleh pembicara. Strategi sosialisasi apapun yang akan dilakukan pada setiap momentum Pemilu atau Pemilihan pada akhirnya tidak terlepas dari tujuan akhir, yakni warga masyarakat mau hadir ke TPS pada hari Pemilihan. Oleh karenanya penting untuk menafsirkan dan memahamkan kembali kepada Publik bahwa Hari Pemilihan sebagai hari yang Sakral, sehingga setiap orang akan menjaga dan menghargai serta ikut memaknai kesakralan hari Pemilihan, tentunya dengan cara hadir ke TPS. Jika selama ini pada setiap pesta demokrasi pemerintah mengeluarkan kebijakan libur secara nasional namun sebagian warga masyarakat malah menggunakannya untuk pergi berlibur dan tidak hadir ke TPS. Desakralisasi hari Pemilihan secara tanpa sadar sudah berlangsung dan kita jalani selama ini. Hari memilih pemimpin {Pemilu atau Pemilihan} tidak lagi menjadi suatu hal yang sakral bagi sebagian masyaraat, khsusunya Inilah salah satu paradox yang mewarnai perjalanan demokrasi kita saat ini, khususnya di Kota Medan dengan tingkat kehadiran pemilih yang cukup rendah. Kesimpulan Sosialisasi sebagai ajang komunikasi antarbudaya dalam masyarakat multikultur merupakan sebuah realitas yang tidak bisa dihindari dan memerlukan strategi yang tepat untuk mengatasi berbagai kesenjangan dan perbedaan yang ada. Dengan demikian pemahaman latar belakang budaya dalam rangka sosialisasi memungkinkan tersampaikannya pesan dengan baik dan jelas kepada masyarakat. Strategi sosialisasi dalam rangka mensukseskan Pesta Demokrasi Pemilihan Walkota dan WakilWalikota Medan yang akan datang semestinya diletakkan dalam konteks strategi sosialisasi yang berbasis keberagaman. Artinya, dengan komunikasi yang baik dan pemahaman terhadap keberegaman dan kearifan local (local wisdom) serta dibarengi dengan proses kreatif dan inovatif dalam kegiatan sosialisasi maka out put dari proses sosialisasi diharapkan dapat maksimal dna menghasilkan pemahaman yang baik pula sehingga mampu membentuk persepsi dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mensukseskan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan tahun 2020 yang akan datang. Semoga Oleh : Edy Suhartono (Komisoner KPU Medan, Kordinator Divisi SDM dan Parmas) Artikel sudah ditayangkan di Harian Medan Pos, pada Selasa, 08 Oktober 2019

Menakar Kadar Partisipasi Pemilih di Kota Medan Menyongsong Pilkada Serentak 2020

Intro Tak terasa, tahapan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan sudah di depan mata dan akan berlangsung sebentar lagi. Rakyat di negri ini baru saja usai melaksanakan pesta demokrasi Pemilu serentak Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Legislatif tahun 2019. Pesta demolkrasi yang baru saja usai ini berlangsung cukup aman dan lancar dengan tingkat partisipasi yang cukup menggembirakan. Paling tidak untuk Kota Medan tingkat partisipasi tercatat cukup signifikan yakni 74.20 % untuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan 73,67 % untuk Pemilihan DPRD Kota Medan. Ada peningkatan angka partisipasi yang cukup tajam dari Pemilihan Preiden dan Wakil Presiden serta Legislatif tahun 2014, meskipun tetap saja belum mencapai target nasional yang dipatok di angka 77.5 %. Menyongsong Pilkada Walikota dan Wakil Walikota Medan yang sebentar lagi akan memasuki tahapan, penulis merasa perlu untuk merefleksikan asa dan rasa terkait momentum Pilkada Kota Medan yang akan datang. Akankah tragedi 2105 bakal terulang kembali, yakni anjloknya angka kehadiran warga ke TPS, yang hanya 25.38 % dan tercatat terendah di seluruh Indonesia; atau barangkali ada proses perubahan yang lebih baik mengingat capaian angka partisipasi pemilih yang cukup tajam pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Legislatif tahun 2019, yang mencapai angka 74 %. Mesikipun angka ini tidak mencapai target nasional 77.5 % . Namun angka partisipasi yang diraih pada Pemilu 2019 tergolong cukup progresif pada rentang waktu 10 tahun terakhir. Fluktuasi Angka Partisipasi Di tengah persiapan menghadapi momentum Pemilihan Kepala Daerah serentak yang sebentar lagi akan segera memasuki tahapan, tentunya menariik untuk menyandingkan sekaligus membandingkannya dengan pemilihan sebelumnya khususnya pada level yang sama , yakni Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan tahun 2015 yang lalu. Ada fakta yang menarik bahwa trend kehadiran Pemilh di Kota Medan pada setiap Pemilihan kepala daerah, baik itu Gubernur dan Wakil Gubernur maupun Walikota dan Wakil Walikota cendrung menurun. Hal ini sebagaimana terpapar dalam matriks data partisipasi yang dimiliki oleh KPU Kota Medan, dari data yang ada di KPU Kota Medan terlihat jelas bagaimana dinamika dan trend kehadiran pemilih ke TPS pada setiap Pilakda yang berlangsung di Kota Medan pada 15 tahun terakhir. Tampilan data ini secara infografis menunjukkan suatu pola yang sebenarnya bisa dipelajari dan dianaliis sehingga bisa diproyeksi trend kehadiran pemilih pada Pilkada yang akan datang. Tentunya proses untuk memahami pola ini tidak terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Dari data yang dimiliki oleh KPU Kota Medan, cukup memberikan informasi yang memadai untuk melihat dan menganalisis pola fluktuasi angka partisipasi yang ada. Terlihat bahwa pada setiap Pemilu yang bersifat nasional, trend kehadiran pemilih relatif cukup tinggi. Trend Partisipasi Pemilih pada Pemilu Pemilu Legislatif tahun 2004 yang menunjukkan angka partisipasi mencapai 78.21 % capaian angka partisipasi tertinggi yang pernah diraih selama kurun waktu 15 tahun. Namun pada Pemilu Presiden tahun 2004 angka partisipasi menunjukkan angka yang rendah baik pada Putaran I maupun Putaran II, yakni 66.56 % dan 62.59 %. Pada Pemilu Legislatif dan Presiden tahun 2009 angka partisipasi pemilih di Kota Medan semakin menurun yakni 47.44 % untuk Pemilu Legislatif dan 52.35 % untuk Pemilu Presiden. Selanjutnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden tahun 2014 angka kehadiran pemilih di TPS mengalami kenaikan , yakni 51.83 % untuk Pemilu Legislatif dan 55.59 % untuk Pemilu Presiden. Angka kehadiran pemilih ke TPS menunjukkan trend yang semakin meningkat pada Pemilu Presiden dan Pemilu Legsilatif tahun 2019 yang dilaksanakan secara serentak secara nasional. Untuk Kota Medan angka kehadiran Pemilih ke TPS menunjukkan angka 74.20 % pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Selanjutnya angka kehadiran untuk Pemilu Legislatif, yakni masing masing DPR RI sebesar 73.81 %; DPD sebesar 73.95 % , DPRD Propinsi 73.72 % dan DPRD Kota sebesar 73.67 %. Tampilan angka partisipasi pemilih pada setiap Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden ternyata relatif tinggi. Jika pada tahuin 2004 angka partisipasi pemilih pada Pemilu Legislatif cukup tinggi yakni 78.21 % sedangkan pada tahun 2019 angka partisipasi pemililih yang tinggi terlihat pada Pemilu Presiden yakni mencaoai 74.20 %. Artinya selama 15 tahun terakhir (2004 2019) ada pola yang menggambarkan trend angka partisipasi pemilih atau kehadiran pemilih ke TPS pada setiap Pemilu atau Pemilihan di Kota Medan. Kesimpulan bahwa pada saat berlangsungnya Pemilu Presiden maupun Pemilu Legislatif, pemilih di Kota Medan cendrung menunjukkan angka partisipasi yang tinggi walau belum atau tidak sampai mencapai target secara nasional. Sepertinya pola ini akan kembali berulang pada momentum Pemilu yang sama, yakni Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden Trend Partisipasi Pemilih pada Pemilihan Kepala Daerah Sebaliknya pada Pemilihan Kepala Daerah, baik Pilgub maupun Pilwako, trend angka partisipasi dan kehadiran pemilih di Kota Medan cendrung mengalami penurunan secara tajam. Dari data yang ada terlihat bahwa trend angka partisipasi pemilih tiak pernah mencapai angka 60 %. Artinya bahwa masyarakat tidak begitu tertarik atau peduli dengan Pemilihan kepala daerah, baik itu Gubernur maupun Walikota. Dari beberapa kali pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur maupun Walikota dan Wakil Walikota angka kehadiran pemilih ke TPS cendrung menurun tajam. Pada Pilwako tahun 2005, angka partisipasi menembus angka 54.70 %, sedangkan Pilgub tahun 2008 angka partisipasi sebesar 47.10 %. Selanjutnya Pilwako 2010 yang berlangsung dua putaran, angka partisipasi pemilih semakin menurun. Pada putaran I angka partisipasi pemilih sebesar 35.68 % dan pada putaran II sebesar 38.28 %. Sementara pada Pilgub 2013 angka partisipasi pemilih berada di angka 36.58 %, lebih rendah dari Pilgub 2008. Selanjutnya pada Pilwako tahun 2015 angka partisipasi pemilih menunjukkan penurunan yang semakin tajam, yakni 25.38 %, terendah dalam sejarah Pemilihan di Indonesia. Pada Pilgub tahun 2018, angka partisipasi pemililh mengalami peningkatan, yakni mencapai 55.80 %. Dari tampilan data infografik yang ada pada Pemilihan Kepala Daerah di Kota Medan (baik Pilgub maupun Pilkwako) menampilkan pola yang tidak biasanya, khususnya pada tampilan grafik tahun 2015, di mana derajat angka partisipasi pemilih mengalami keanjlokan secara signifikan. Pola ini sesuatu yang tidak biasa atau menyimpang, tentunya disebabkan oleh berbagai faktor. Kalau hanya sekedar membaca grafik yang ada., tampilan angka partisipasi yajg rendah pada Pilwako baik tahun 2010 maupun tahun 2015 sebenarnya sudah bisa diprediksi, karena masih tampilnya petahana {incumbent} dalam proses kontestasi. Masyarakat pemilih tentunya masih dibayangi oleh peristiwa pemilihan yang sebelumnya dengan calon yang juga sama ditambah dengan hasil yang dirasakan selama petahana menjabat. Inilah yang pada akhirnya mempengaruhi prilaku pemilih pada Pilkwako 2015. Kesimpulan Menakar kadar partisipasi pemilih di Kota Medan tentunya tidak gampang apalagi dengan hanya mengacu pada dinamika trend angka partisipasi selama 14 tahun terakhir. Paling tidak melalui tampilan infogafik trend angka partisipasi yang ada kita mendapatkan suatu pola yang cendrung ajeg, yakni: bahwa pada setiap Pemiliu yang bersifat nasional, trend angka partisipasi di Kota Medan cendrung tinggi sedangkan untuk Pemilihan Kepala Daerah angka partisipasi cendrung rendah. Keputusan warga untuk menjalankan hak pilihnya bukanlah sebuah keputusan yang instan dan dadakan. Mengutip dari Svitaylo (2014:940}, bahwa yang mempengaruhi prilaku pemilih untuk memutuskan memilih atau tidak memilih merupakan kombinasi antara rasionalitas (kognitif) dan emosional (afektif) pada akhirnya melahirkan suatu penilaian (evaluasi) untuk melakukan tindakan (aksi) memilih atau tidak memilih. Tesis ini sangat membantu untuk melihat prilaku pemilih pada Pilwako Medan tahun 2015, dimana angka partisipasi warga hanya mencapai angka 25.38 %. Bahwa rendahnya kehadiran pemilh ke TPS atau keputusan pemilih untuk memilih dan tidak memilih terkait dan dipengaruhi oleh ketiga aspek diatas ,yakni aspek kognif (rasionalitas), aspek afektf (emosional} dan aspek penillaian {evaluatif}. Menyorot pada Pemilu Presiden dan Legislatif tahun 2019 yang baru lalu, ada beberapa hal yang perlu kita cermati bersama yang berguna untuk melihat proses dan progres serta proyeksi Pilkada Walikota Medan tahun 2020 yang akan datang. Setidaknya ada beberapa permasalahan yang menarik untuk dilihat, yakni: Pertama masalah data pemilih tetap (DPT); Kedua masalah sosialisasi dan kampanye; Ketiga masalah manajemen logisitik Keempat masalah SDM penyelenggara dalam melaksanakan teknis penyekenggaran serta Kelima masalah figure atau sosok calon. Inilah lima issu krusial yang mungkin akan dihadapi dalam penyelenggaraan Pilkada Walikota di Kota Medan tahun 2020 yang tentunya akan berdampak pula pada capaian angka partisipasi. Merefelksi dari kegiatan sosialisasi yang dilakukan selama ini, pada dasarnya sudah menggunakan segala cara, yakni dengan pendekatan yang bewrsifat TSM (terstruktur, sistematis dan massif) namun tetap saja pada hari H Pencoblosan , sedikit warga yang hadir ke TPS, selebiihnya memilih untuk bepergian liburan atau memilih tetap dirumah. Inilah realitas yang terpapar pada pesta demokrasi Pilwako Kota Medan tahun 2015. Hari Pencoblosan yang selalu ditandai dengan libur nasional sehingga tidak alasan bagi para pemilih untuk tidak hadir pada saat hari pemilihan. Hari pemilihan tidk lagi dianggap sakral sehingga harus dijaga dan dihargai serta dimaknai sebagai suatu yang benar benar penting bagi seluruh rakyat di negeri ini, karena pada hari itu merupakan hari untuk memilih pemimpin yang akan dipercaya memimpin negeri ini untuk periode lima tahun ke depan. Desakralisasi hari Pemilihan atau Pemilu telah berlangsung secara tanpa disadari. Pemilu atau hari Pemilihan tidak lagi dianggap menjadi sesuatu yang penting apalagi sakral. Padahal pemerintah telah menetapkan sebagai hari libur secara nasional. Hal ini berbeda pada saat masyarakat menyambut hari libur pada saat Iedhul Fithri lebaran atau tahun baru; di mana warga masyarakat begitu antusias dan jauh jauh hari sudah menyiapkan diri untuk mudik dan merayakan lebaran ataupun tahun baru di kampung bersama keluarga. Sehinigga suasana lebaran/tahun baru menjadi sebuah momentum yang benar benar dimaknai sebagai hal yang penting dan sakral oleh masyarakat. Realitas paradoks inilah yang tergambar di Kota Medan pada saat berlangsungnya berapa kali proses pemilihan kepala daerah, baik Gubernur maupun Walikota di daerah ini. Prihatin? Ya , tentu saja kita sangat prihatin dengan kenyataan sedemikian ini. Karena itu perlu ada upaya untuk menelusuri serta mencari tahu apa yang menjadi penyebab sembari menyiapkan solusi bagi permasalahan yang dihadapi. Yang pasti KPU sebagai penyelenggara Pemilihan atau Pemilu tentunya tidak dapat bekerja sendiri mengatasi problem rendahnya partisipasi masyarakat melainkan perlu kerjasama dengan semua pihak, baik itu pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, akademisi serta partai politik dan pihak terkait lainnya. Oleh : Edy Suhartono (Komisoner KPU Medan, Kordinator Divisi SDM dan Parmas) Artikel sudah ditayangkan di Harian Analisa, pada Kamis, 31 Oktober 2019

Populer

Belum ada data.